Anak-Anak Bangsa yang “Terpaksa” Hidup di Jalanan
Oleh Alta Windiana
Balita berkulit kusam itu bermain-main riang dengan saudara lelakinya yang berusia agak lebih tua. Ia tampak tidak terlalu peduli dengan deru asap hitam kendaraan bermotor dan tebu tebal yang beterbangan di sekelilingnya. Anak-anak kecil bertubuh ceking dan berambut kecokelatan itu tampak santai bercanda di bawah terowongan fly over yang ramai dengan kendaraan lalu lalang, sambil sesekali meminta uang pada pengendara mobil yang lewat.
Anak jalanan memang telah menjadi fenomena di Ibukota Jakarta. Kemana pun kita pergi, pasti akan tertangkap oleh pandangan kita anak-anak kecil kurus berkulit cokelat tua dan berpakaian lusuh dengan wajah memelas meminta-minta uang pada orang-orang lewat.
Banyak hal yang dilakukan anak jalanan untuk mengais rejeki. Ada yang mengamen (walau kadang hanya menepuk-nepukkan tangannya tanpa bermaksud menghibur), mengelap kaca mobil (yang seringkali malah bikin tambah kotor atau membuat kita deg-degan kaca mobil bakal terbaret), berjualan makanan dan minuman, bahkan terang-terangan mengemis.
Uang yang didapat dari sekali mereka melakukan kegiatan tersebut memang tak seberapa. Sekali mengamen, mengemis atau mengelap kaca mobil, mungkin rata-rata mereka hanya memperoleh dua sampai lima ratus rupiah, atau seribu rupiah bila beruntung mendapatkan “target” yang dermawan. Bisa juga mendapat lambaian tangan tanda penolakan, seperti yang saya, atau mungkin sebagian orang biasa lakukan. Sebelum Anda menyebut saya dengan istilah pelit, kejam, sombong, atau tuduhan sadis lainnya, saya akan menjelaskan alasan dibalik kebiasaan tersebut.
Pernah sebuah artikel ramai diperbincangkan di berbagai milis atau forum di internet. Artikel yang bersumber dari website resmi majalah Gatra tersebut menyebutkan bahwa penduduk Jakarta menyumbangkan uang receh ke jalanan senilai 1,5 milyar rupiah tiap harinya. Jumlah tersebut dibagi ke (menurut data terakhir) 75.000 anak jalanan di daerah Jabodetabek.
Jumlah tersebut tentu sama sekali bukan jumlah yang sedikit. Sayangnya, uang sebanyak itu tidak digunakan untuk keperluan kesejahteraan atau pendidikan mereka. Kemana uang satu milyar lebih itu pergi? Uang tersebut, sayangnya lagi, sebagian besar akan berakhir di pedagang makanan, mesin ding-dong, preman atau senior yang mempekerjakan mereka, dan bahkan bandar narkoba!
Hal tersebut menggambarkan seberapa banyaknya uang receh yang kita berikan pada para anak jalanan, anak-anak tersebut akan tetap miskin, tidak bersekolah, dan justru akan makin banyak jumlahnya. Mereka berpendapat bahwa mencari uang di jalanan itu mudah.
Anak-anak lain yang juga tidak mampu akan berpendapat bahwa hidup di jalanan pun akan menghasilkan uang dan kenyamanan, sehingga tidak perlulah mereka bersekolah dan kemudian mencari pekerjaan yang layak. Mereka tidak akan termotivasi untuk memperoleh kehidupan yang layak dan seumur hidup akan terus bergantung pada belas kasihan orang lain.
Memberi uang receh pada para anak jalanan memang tidak dilarang. Namun, akan lebih baik bila kepedulian kita disalurkan ke badan-badan terpercaya yang akan menjamin bantuan yang kita berikan digunakan untuk hal-hal yang akan membuat masa depan anak-anak tersebut menjadi lebih baik, misalnya dengan menjadi orangtua asuh dan membiayai sekolahnya.
Tentu tidak semua anak jalanan dengan “sengaja” hidup di jalanan seperti yang telah saya tulis di atas. Masih banyak pula anak-anak lain yang berjuang di jalan untuk membiayai biaya sekolahnya, atau bahkan menjadi tulang punggung keluarganya.
Bagaimana pun, sesuai dengan pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi “Fakir miskin dan Anak terlantar akan dipelihara oleh negara”, adalah tanggung jawab kita juga sebagai warga negara untuk meringankan beban mereka, tentunya dengan cara yang tepat dan tidak membuat mereka malas dan bergantung pada orang lain.
'Give a man a fish and you feed him for a day. Teach a man to fish and you feed him for a lifetime'. Pepatah tersebut agaknya menggambarkan apa yang kita lakukan pada anak jalanan sekarang ini. Kita memberi mereka makan hanya untuk sehari, tanpa mempertimbangkan bagaimana masa depan mereka nantinya.
Alta Windiana/ MC 10-5B/ 2006100141
Tidak ada komentar:
Posting Komentar