Nama: Alta Windiana
NIM: 2006100141
Kelas: MC 10-5B
Tanggal: 14 Oktober 2008
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi Menurut Skema Sistem Politik
Skema Sistem Politik RUU APP
(Karena RUU tersebut belum disahkan, maka untuk sementara skema sistem politiknya hanya sampai sistem konversi)
Penjelasan
1. Tuntutan (Demand)
RUU APP menjadi sebuah kontroversi, dan tidak semua pihak menyetujui undang-undang tersebut. Pihak-pihak yang menolak kebanyakan dari kalangan aktivis perempuan, seniman dan budayawan. Beberapa diantaranya ialah:
• Ketua Komnas Perempuan, Kamala Chandrakirana, menilai bahwa RUU APP memojokkan dan membatasi ruang gerak perempuan. Menurutnya, kerangka berpikir di balik RUU tersebut harus diubah, seperti bagaimana RUU tersebut secara otomatis mengaitkan pornografi dengan perempuan, dan negara yang menganggap dirinya sebagai pengawas moral yang mempunyai wewenang penuh untuk mengatur privasi warganya.
• Komnas HAM menilai bahwa RUU APP berpotensi untuk menimbulkan pelanggaran HAM, terutama pada pekerja seni, masyarakat kebudayaan dan kelompok etnis tertentu. Karena luasnya penafsiran RUU tersebut (seperti misalnya definisi ’pornografi’ itu sendiri), dikhawatirkan akan terjadi ketidakpastian hukum yang akan merugikan masyarakat.
• Tentangan juga datang dari masyarakat luas, terbukti dari diadakannya berbagai unjuk rasa dan acara untuk menentang RUU APP, seperti Gelar Seribu Tayub (15 Maret 2006) di Solo, Karnaval Budaya (22 April 2006) dan deklarasi Masyarakat Bhineka Tunggal Ika (13 Mei 2006) di Jakarta.
2. Dukungan (Support)
Dukungan terhadap RUU APP mucul dari beberapa kelompok masyarakat seperti MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. Berikut pendapat diantaranya:
• Ketua Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq menyatakan bahwa banyak pihak yang berlindung di balik dalih kesenian dan kebebasan berekspresi. Ia juga menolak pendapat bahwa RUU APP merupakan islamisasi, karena RUU ini lebih merupakan akhlakisasi moral bangsa Indonesia yang mulai terancam.
• Pada 27 Mei 2006, MUI mengeluarkan beberapa fatwa yang diantaranya berisi tentang perlunya RUU APP segera disahkan dan agar setiap daerah memiliki perda anti maksiat.
• Ketua Tim Pengawal RUU APP MUI-Ormas Islam KH Ma’ruf Amin mendesak DRR RI agar mengesahkan RUU APP untuk melindungi akhlak bangsa. Ia meyakinkan bahwa RUU APP tidak akan merusak persatuan bangsa, tidak merusak Bhinneka Tunggal Ika, dan tidak bertentangan dengan HAM, justru sebaliknya dapat mempersatukan bangsa dan melindung masyarakat dari kerusakan moral.
Perkembangan Terakhir:
Karena banyaknya tentangan sejak pertama kali dicetuskan pada tahun 2006, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi disempurnakan dan diganti namanya menjadi RUU Pornografi, dan kemudian dibahas kembali di legislatif. RUU pornografi yang lebih banyak menyangkut tentang produksi dan distribusi materi pornogarfi ini dijadwalkan untuk disahkan pada 23 September 2008, namun tanggal itu kembali diundur.
Anggota Pansus RUU Pornografi Ali Muchtar Nabalin mengatakan bahwa RUU tersebut akan disahkan pada tanggal 14 Oktober 2008. Pada tanggal 8 Oktober lalu telah diadakan laporan pansus dan pemerintah untuk dengar pendapat antar fraksi. Dalam pembahasan tersebut Pansus RUU Pornografi kembali mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan meninjau ulang beberapa pasal yang masih dalam perdebatan.
RUU APP menjadi sebuah kontroversi, dan tidak semua pihak menyetujui undang-undang tersebut. Pihak-pihak yang menolak kebanyakan dari kalangan aktivis perempuan, seniman dan budayawan. Beberapa diantaranya ialah:
• Ketua Komnas Perempuan, Kamala Chandrakirana, menilai bahwa RUU APP memojokkan dan membatasi ruang gerak perempuan. Menurutnya, kerangka berpikir di balik RUU tersebut harus diubah, seperti bagaimana RUU tersebut secara otomatis mengaitkan pornografi dengan perempuan, dan negara yang menganggap dirinya sebagai pengawas moral yang mempunyai wewenang penuh untuk mengatur privasi warganya.
• Komnas HAM menilai bahwa RUU APP berpotensi untuk menimbulkan pelanggaran HAM, terutama pada pekerja seni, masyarakat kebudayaan dan kelompok etnis tertentu. Karena luasnya penafsiran RUU tersebut (seperti misalnya definisi ’pornografi’ itu sendiri), dikhawatirkan akan terjadi ketidakpastian hukum yang akan merugikan masyarakat.
• Tentangan juga datang dari masyarakat luas, terbukti dari diadakannya berbagai unjuk rasa dan acara untuk menentang RUU APP, seperti Gelar Seribu Tayub (15 Maret 2006) di Solo, Karnaval Budaya (22 April 2006) dan deklarasi Masyarakat Bhineka Tunggal Ika (13 Mei 2006) di Jakarta.
2. Dukungan (Support)
Dukungan terhadap RUU APP mucul dari beberapa kelompok masyarakat seperti MUI, ICMI, FPI, MMI, Hizbut Tahrir, dan PKS. Berikut pendapat diantaranya:
• Ketua Front Pembela Islam (FPI), Habib Rizieq menyatakan bahwa banyak pihak yang berlindung di balik dalih kesenian dan kebebasan berekspresi. Ia juga menolak pendapat bahwa RUU APP merupakan islamisasi, karena RUU ini lebih merupakan akhlakisasi moral bangsa Indonesia yang mulai terancam.
• Pada 27 Mei 2006, MUI mengeluarkan beberapa fatwa yang diantaranya berisi tentang perlunya RUU APP segera disahkan dan agar setiap daerah memiliki perda anti maksiat.
• Ketua Tim Pengawal RUU APP MUI-Ormas Islam KH Ma’ruf Amin mendesak DRR RI agar mengesahkan RUU APP untuk melindungi akhlak bangsa. Ia meyakinkan bahwa RUU APP tidak akan merusak persatuan bangsa, tidak merusak Bhinneka Tunggal Ika, dan tidak bertentangan dengan HAM, justru sebaliknya dapat mempersatukan bangsa dan melindung masyarakat dari kerusakan moral.
Perkembangan Terakhir:
Karena banyaknya tentangan sejak pertama kali dicetuskan pada tahun 2006, RUU Anti Pornografi dan Pornoaksi disempurnakan dan diganti namanya menjadi RUU Pornografi, dan kemudian dibahas kembali di legislatif. RUU pornografi yang lebih banyak menyangkut tentang produksi dan distribusi materi pornogarfi ini dijadwalkan untuk disahkan pada 23 September 2008, namun tanggal itu kembali diundur.
Anggota Pansus RUU Pornografi Ali Muchtar Nabalin mengatakan bahwa RUU tersebut akan disahkan pada tanggal 14 Oktober 2008. Pada tanggal 8 Oktober lalu telah diadakan laporan pansus dan pemerintah untuk dengar pendapat antar fraksi. Dalam pembahasan tersebut Pansus RUU Pornografi kembali mempertimbangkan aspirasi masyarakat dan meninjau ulang beberapa pasal yang masih dalam perdebatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar